Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan
tradisi dan budaya, termasuk berbagai ritual atau upacara yang dipercaya dapat
melindungi suatu daerah dari mara bahaya dan bencana. Tradisi-tradisi ini telah
diwariskan secara turun-temurun dan masih dijaga keberlangsungannya hingga
kini. Salah satu contoh nyata dari kekayaan budaya tersebut adalah tradisi
Ratib Kerambai, sebuah ritual tahunan yang dilaksanakan oleh masyarakat di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Tradisi ini biasanya dilakukan
pada hari ketiga setelah perayaan Idul Fitri, atau bertepatan dengan 3 Syawal
dalam kalender Hijriah. Ratib Kerambai tidak hanya menjadi bentuk pelestarian
budaya, tetapi juga mencerminkan kuatnya nilai-nilai spiritual masyarakat yang
meyakini bahwa ritual ini dapat menangkal berbagai macam bala atau bencana yang
mungkin mengancam kehidupan mereka.
Tradisi Ratib Kerambai
sebagai Ritual Tolak Bala
Sumber : beritaoneid
(2022)
Ratib Kerambai, atau yang oleh masyarakat setempat
sering disebut sebagai atib keambai, dilaksanakan dengan cara yang cukup
unik. Ritual ini dilakukan di atas perahu yang berlayar menyusuri sungai di
wilayah Kubu hingga menuju arah laut. Dalam pelaksanaannya, para peserta ritual
akan membaca doa-doa dan zikir tertentu, yang diyakini dapat memberikan
perlindungan serta keberkahan bagi kampung mereka. Tradisi ini tidak lepas dari
pengaruh ajaran agama Islam yang kuat di tengah masyarakat setempat, sehingga
unsur keagamaan sangat kental terasa dalam setiap prosesi ritualnya. Lebih dari
sekadar upacara adat, Ratib Kerambai menjadi wujud rasa syukur, harapan, dan
doa kolektif masyarakat Kubu agar dijauhkan dari segala bentuk musibah, serta
menjadi cermin dari kearifan lokal yang tetap bertahan di tengah arus
modernisasi.
Deretan
Perahu Mesin didekat Makam Datu Rambai
bersiap-siapmenyebrang ke Kuala
Kubu
Sumber
: Foto Sari (2021)
Tradisi Ratib Kerambai yang dipercaya sebagai ritual
tolak bala yang memiliki akar sejarah panjang. Tradisi ini bermula dari
kedatangan Syekh Haji Abdullah Pasai pada tahun 1890-an, seorang ulama
keturunan Rasulullah SAW yang bersama saudaranya, Datuk Jenggot, menyebarkan
ajaran Islam di wilayah Kenegerian Kubu. Lokasi makam keramat mereka yang
dikenal dengan nama Rambai menjadi pusat pelaksanaan ritual ini. Nama Rambai
sendiri diambil dari pohon rambai yang selalu menjadi tempat berteduh Syekh
Abdullah Pasai saat berdakwah dan bertafakur di daerah yang masih banyak
kemungkaran. Pada tahun 1940-an, saat berbagai musibah melanda wilayah
tersebut, Syekh Abdul Wahab Rokan mengarahkan murid-muridnya untuk melakukan
ritual Ratib Kerambai sebagai upaya spiritual menolak bencana. Ritual ini
dilakukan dengan menyusuri sungai menggunakan sampan dari hulu hingga ke muara
di Tanjung Pulau, sambil melantunkan doa dan kalimat tauhid. Seiring
perkembangan zaman, pada tahun 1980-an masyarakat mulai mengenal sampan
bermesin (boat), yang memudahkan pelaksanaan ritual ini. Pada pelaksanaan
terakhir, tercatat sekitar 380 pria berpartisipasi dengan menggunakan 70 sampan
boat, menandakan tradisi ini masih hidup dan kuat di tengah masyarakat Kubu.
Pelaksanaan Ratib Kerambai bukan hanya ritual
keagamaan, tetapi juga sarana mempererat hubungan sosial dan kekeluargaan
antarwarga. Tradisi ini selalu dijalankan secara khidmat dan tidak boleh
dijadikan tontonan publik. Bahkan, ada larangan tegas agar perempuan, termasuk
gadis kecil, tidak ikut serta dalam ritual ini, demi menjaga kesakralan dan
kemurnian tradisi. Pada awal 2000-an, ritual ini sempat tidak dilaksanakan
selama dua tahun berturut-turut akibat banjir besar yang melanda daerah sekitar
makam keramat, yang kemudian diikuti oleh datangnya berbagai musibah. Kejadian
ini menjadi momentum bagi masyarakat untuk lebih serius menjaga dan
melestarikan tradisi tersebut. Sebagai respons, dibentuklah Majelis Tinggi
Kerapatan Empat Suku Melayu Kenegerian Kubu, yang menghimpun empat suku utama
di daerah itu untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan tradisi leluhur,
termasuk Ratib Kerambai.
Perjalanan
Ritual Ratib Rambai menggunakan Perahu Mesin
Peran generasi penerus sangat ditekankan dalam menjaga
kelangsungan tradisi ini. Zuhaifi, Sekretaris Dewan Pengurus Harian Majelis
Tinggi Kerapatan Empat Suku Melayu Kenegerian Kubu, menyatakan bahwa generasi
muda memiliki kewajiban untuk melestarikan simpul-simpul tradisi yang ada di
Kenegerian Kubu. Dalam upaya pelestarian, mereka mendaftarkan tradisi Ratib
Kerambai ke Dinas Kebudayaan Provinsi Riau sebagai langkah awal pengakuan dan
perlindungan resmi. Pendaftaran ini kemudian diteruskan ke Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia. Berkat perjuangan dan kesungguhan tersebut,
pada tahun 2021 tradisi Ratib Kerambai resmi dinobatkan sebagai warisan budaya
tak benda oleh pemerintah pusat, sebuah pencapaian besar yang menjadi
kebanggaan masyarakat Rokan Hilir sekaligus bukti nyata keberhasilan
pelestarian budaya lokal yang berkelanjutan.
Pengakuan ini memberikan dampak positif yang
signifikan. Selain meningkatkan kebanggaan dan rasa memiliki masyarakat
terhadap tradisi mereka, pengakuan resmi ini juga membuka peluang bagi
pemerintah daerah dan organisasi kebudayaan untuk lebih aktif mendukung
pelestarian Ratib Kerambai. Berbagai kegiatan sosialisasi, pelatihan, dan
pendokumentasian tradisi dilakukan secara rutin untuk memastikan nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam Ratib Kerambai tetap hidup dan dapat diwariskan
kepada generasi mendatang. Pemerintah daerah juga berperan dalam memfasilitasi
pelaksanaan ritual agar tetap berjalan sesuai dengan adat dan aturan yang telah
ditetapkan. Hal ini penting agar tradisi tidak mengalami distorsi akibat
pengaruh modernisasi dan komersialisasi yang kerap mengikis nilai-nilai asli
budaya.
Secara ritual, Ratib Kerambai memiliki tata cara yang
ketat dan penuh makna. Pelaksanaan ritual ini hanya diikuti oleh kaum laki-laki
dari berbagai usia, mulai dari anak-anak hingga orang tua, yang dipimpin oleh
tokoh agama dan tokoh adat setempat. Mereka mengelilingi sungai dengan perahu
sambil melantunkan doa-doa dan ayat suci Al-Quran, memohon agar segala bentuk
bala dan penyakit dijauhkan dari wilayah mereka. Tradisi ini juga diiringi
dengan ziarah ke makam Datuk Rambai, yang menjadi simbol kehadiran para wali
dan ulama yang telah mewariskan ajaran Islam dan tradisi Ratib Kerambai. Ziarah
ini menjadi bagian penting dari ritual, karena masyarakat yang bernazar atau
memiliki niat khusus datang untuk berdoa dan memohon kesembuhan atau
keselamatan.
Lebih dari sekadar ritual tolak bala, Ratib Kerambai
adalah wujud nyata bagaimana sebuah tradisi dapat menjadi perekat sosial dan
identitas budaya yang kuat. Tradisi ini mengajarkan nilai-nilai spiritual,
kebersamaan, dan tanggung jawab antar generasi dalam menjaga warisan leluhur.
Dengan tetap memegang teguh aturan dan nilai-nilai yang diwariskan, masyarakat
Kubu berhasil mempertahankan tradisi ini sebagai warisan budaya berkelanjutan
yang tidak hanya berkaitan dengan religius, tetapi juga sosial dan kultural.
Ratib Kerambai menjadi contoh bagaimana budaya lokal dapat hidup dan berkembang
di tengah perubahan zaman tanpa kehilangan makna dan fungsi aslinya.
Melalui Ratib Kerambai, masyarakat Rokan Hilir
menunjukkan betapa pentingnya menjaga dan menghargai warisan budaya leluhur
sebagai bagian dari kekayaan bangsa yang tak ternilai. Tradisi ini menjadi
simbol doa dan perlindungan yang mengikat masyarakat dalam solidaritas dan
keimanan yang mendalam. Dengan dukungan aktif dari masyarakat, organisasi adat,
dan pemerintah, Ratib Kerambai diharapkan akan terus lestari dan menjadi sumber
inspirasi bagi pelestarian budaya lokal lainnya di Indonesia. Tradisi ini bukan
hanya ritual tolak bala, melainkan lambang keberlanjutan budaya yang hidup dan
berdaya guna bagi generasi sekarang dan masa depan.
Ditulis oleh Rita Silpina




