SEMBILAN WARISAN, SATU HARAPAN - MENJAGA BUDAYA LAMPUNG


Tari Sigeh Pengunten – Tarian Adat Lampung Khas Pepadun

    Di setiap jengkal tanah terhampar kisah dan kebijaksanaan yang tak terhitung. Negeri ini bukan sekadar gugusan pulau, melainkan ruang hidup bagi ribuan budaya yang terus berdenyut dalam diam. Di antara berbagai wujud kekayaan budaya, ada satu yang tak kasatmata namun terasa sangat hidup: Warisan Budaya Takbenda bukan benda mati yang terpajang di museum, melainkan hidup dalam tarian, nyanyian, adat, dan tutur lisan masyarakat. Lampung, sang penjaga gerbang Pulau Sumatera, memendam mutiara budaya yang nyaris terlupakan. Tahun 2024 menjadi penanda penting sembilan warisan budaya dari Lampung direkomendasikan untuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia oleh Direktorat Perlindungan Kebudayaan Kemendikbudristek bersama Tim WBTb. Sebuah langkah maju yang lebih dari sekadar pengakuan administratif; ini adalah upaya menghidupkan kembali denyut budaya di tengah ritme zaman yang kian deras.

Menyibak Kisah di Balik Nama

       Motif Belah Ketupat, Tradisi Buttatah, Celugam, Papenyok, Adat Buantak, Adidang, Mepadun, Ceco Cangget Pilangan, dan Takhi Bedayo Abung Siwo Migo. Mungkin terdengar asing di telinga anak muda Lampung sendiri, apalagi mereka yang tinggal jauh dari lingkungan adat. Namun, tiap nama itu bukan sekadar istilah atau label tradisi di baliknya tersimpan nilai-nilai luhur, spiritualitas, serta filosofi hidup yang diwariskan turun-temurun. Motif Belah Ketupat misalnya, bukan hanya elemen dekoratif pada kain, tetapi lambang keseimbangan dan keteraturan hidup dalam masyarakat. Adat Mepadun merepresentasikan semangat musyawarah, sebagai dasar dalam pengambilan keputusan kolektif. Adidang dan Ceco Cangget Pilangan membawa seni pertunjukan yang bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarat pesan moral dan pendidikan karakter. Ironisnya, warisan ini kini justru semakin asing di tengah generasinya sendiri. Kita menghadapi situasi di mana budaya hidup, tapi tidak dikenali. Ia hadir, tapi tidak dirasakan. Apakah kita akan membiarkan warisan ini menghilang hanya karena kita tidak cukup peduli?

Budaya yang Asing di Rumah Sendiri

       Generasi muda Lampung hari ini lebih mengenal trending dance challenge di TikTok dibandingkan irama Adidang. Mereka lebih fasih menyanyikan lagu-lagu viral daripada mengucap syair adat. Kita tidak bisa serta-merta menyalahkan mereka. Dalam dunia yang begitu cepat berubah, budaya lokal sering kali tidak mendapat tempat yang setara. Namun, ini juga menjadi panggilan bagi kita semua: bagaimana bisa kita membiarkan akar budaya kita mengering hanya karena terlalu sibuk mengejar yang serba instan dan viral? Jika budaya tidak dijadikan bagian dari gaya hidup, maka ia akan perlahan tergantikan.

    Melestarikan budaya bukan tugas yang bisa diserahkan begitu saja kepada pemerintah atau institusi kebudayaan. Ini tanggung jawab bersama. Pemerintah bisa memberi regulasi dan dukungan, namun tanpa partisipasi masyarakat, budaya hanya akan menjadi proyek dokumentasi lengkap di arsip, tapi hampa di kenyataan. Kita butuh lebih banyak lokakarya budaya, festival seni, pertunjukan di ruang publik, dan program edukasi berbasis kearifan lokal. Komunitas seni, guru, orang tua, pelajar semua harus ikut bergerak. Bayangkan jika setiap sekolah di Lampung menjadikan warisan budaya sebagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler. Tidak mustahil warisan ini kembali hidup, bahkan berkembang.

    Budaya bisa keren. Budaya bisa viral. Asalkan dibungkus dengan kreatif. Misalnya, Buttatah bisa menjadi konten dokumenter pendek yang diproduksi secara sinematik. Papenyok bisa dijadikan game edukatif yang menghibur sekaligus mengajarkan nilai lokal. Motif Belah Ketupat bisa masuk dalam lini busana yang mengusung konsep sustainable fashion. Bahkan, tari-tarian tradisional bisa dipadukan dengan musik kontemporer tanpa kehilangan jiwanya. Inilah pentingnya adaptasi. Dunia kini mencari keunikan dan identitas lokal. Maka kita tidak boleh ragu untuk mendorong budaya lokal menembus batas global. Tapi tentu saja, inovasi ini harus tetap menjaga ruh dan keaslian budaya. Inilah tantangan dan tanggung jawab kita bersama.

Menjaga Akar, Menumbuhkan Harapan

    Sembilan warisan budaya dari Lampung bukan hanya barisan nama dalam dokumen negara. Mereka adalah denyut nadi dari masa lalu yang masih ingin berbisik kepada generasi hari ini. Mereka menyimpan cerita, nilai, dan filosofi yang tak ternilai, yang seharusnya tak hanya dikenang, tapi juga dijalani. Kita tak bisa lagi berharap generasi muda menemukan budaya dengan sendirinya. Kini saatnya budaya menjemput mereka hadir di ruang yang mereka kenali dan cintai. Budaya harus hidup di halaman media sosial, disuarakan lewat podcast, diwujudkan dalam karya kreatif, dan disampaikan dalam bahasa yang akrab bagi mereka. Edukasi budaya yang memikat, bukan menggurui, akan menjadi kunci penting dalam proses regenerasi ini.

    Warisan leluhur adalah akar yang menyambungkan kita dengan tanah dan sejarah. Tapi pohon tak hanya hidup dari akar ia harus tumbuh, berdaun, dan berbunga. Maka, budaya pun harus mengalami hal yang sama. Biarkan budaya berkembang bersama zaman, selama ia tetap membawa nilai-nilai luhur yang menjadi identitasnya. Budaya bukan sesuatu yang usang atau kuno. Ia adalah denyut hidup yang, jika dirawat dengan cinta dan kreativitas, bisa menyala kembali. Harapan terbesar itu kini ada pada tangan generasi muda. Dan kita semua punya tanggung jawab yang sama: memastikan bahwa mereka tak hanya menjadi pewaris, tapi juga pelaku dan penjaga kehidupan budaya yang kita cintai bersama.

Ditulis oleh Regina Anggraini

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama