Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) di Provinsi Riau adalah potret nyata paradoks pembangunan Indonesia. Di atas perutnya terkandung kekayaan alam, terutama minyak sawit dan potensi mineral, yang menyumbang devisa besar bagi negeri. Namun, di permukaan tanahnya, rakyatnya masih berjuang melawan kemiskinan dan infrastruktur dasar yang memprihatinkan terutama jalan berlubang yang menjadi simbol kegagalan distribusi kesejahteraan. Ironi ini bukan sekadar cerita lokal, melainkan cermin cacat sistemik pengelolaan sumber daya alam (SDA) nasional.
Kekayaan
yang (Tak) Menetes ke Bawah
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau 2024 menunjukkan kontribusi sektor pertambangan dan penggalian, serta perkebunan (terutama sawit), yang signifikan terhadap PDRB Riau. Rokan Hulu, sebagai salah satu kabupaten penghasil sawit utama dan memiliki potensi migas serta mineral, seharusnya menikmati limpahan manfaat. Realitasnya? Tingkat kemiskinan Rokan Hulu masih berada di atas rata-rata nasional (BPS Kabupaten Rokan Hulu, 2024). Alih-alih kemakmuran, yang seringkali terlihat adalah kesenjangan yang lebar: perusahaan-perusahaan besar beroperasi, sementara masyarakat sekitar masih bergulat dengan akses pendidikan terbatas, layanan kesehatan yang minim, dan infrastruktur dasar yang amburadul.
Jalan
Berlubang: Simbol Kegagalan Pelayanan Dasar
Kondisi
jalan rusak parah, seperti yang belakangan viral di ruas Kabun-Tandun dan
banyak ruas lain di Rokan Hulu, bukan sekadar masalah ketidaknyamanan. Ia
adalah manifestasi konkret dari tiga masalah utama:
- Kegagalan Alokasi Anggaran: Meski
menyumbang besar melalui Dana Bagi Hasil (DBH) SDA dan pajak daerah,
alokasi anggaran untuk pemeliharaan dan peningkatan infrastruktur dasar,
khususnya jalan kabupaten, seringkali tidak memadai atau tidak efektif.
Laporan BPK perihal penyerapan anggaran dan efektivitas belanja
infrastruktur di daerah kaya SDA kerap menyoroti masalah perencanaan yang
buruk dan potensi inefisiensi (Contoh: Ringkasan Hasil Pemeriksaan BPK
atas LKPD Kabupaten Rokan Hulu beberapa tahun terakhir).
- Dampak Eksploitasi SDA tanpa
Mitigasi: Lalu lintas truk-truk pengangkut hasil perkebunan (terutama
sawit) dan alat berat pertambangan yang intensif mempercepat kerusakan
jalan. Sayangnya, kontribusi perusahaan-perusahaan ini dalam bentuk CSR
atau skema pembagian tanggung jawab pemeliharaan infrastruktur yang
dilaluinya seringkali tidak proporsional atau tidak berkelanjutan.
- Perencanaan Infrastruktur Berbasis
Kebutuhan dan Berkelanjutan: Perbaikan jalan harus dilakukan secara
menyeluruh dengan standar teknis yang memadai untuk menahan beban lalu
lintas berat, bukan sekadar tambal sulam. Perencanaan tata ruang wilayah
yang memisahkan jalur industri dari jalur permukiman/publik perlu
diperhatikan untuk mengurangi dampak kerusakan.
- Pemberdayaan Ekonomi Lokal Berbasis SDA: Kekayaan SDA harus mampu menciptakan lapangan kerja dan peluang usaha bagi masyarakat lokal di sepanjang rantai nilai, tidak hanya di level buruh perkebunan/tambang. Pengembangan industri pengolahan hasil perkebunan/mineral skala kecil-menengah di dalam daerah dapat menciptakan nilai tambah dan mengurangi ketergantungan pada eksploitasi mentah.
Penutup
Jalan
berlubang di Rokan Hulu adalah luka terbuka yang menuntut perhatian serius. Ia
lebih dari sekadar masalah teknik; ia adalah pertanyaan moral tentang keadilan.
Negeri ini tidak kekurangan uang dari SDA, yang kurang adalah komitmen politik
yang kuat, tata kelola yang bersih, dan prioritas yang benar-benar memihak
rakyat kecil di daerah penghasil. Saat truk-truk pengangkut kekayaan alam
melintas di atas jalan yang mengancam nyawa warga biasa, itulah puncak ironi
negeri kaya SDA. Sudah waktunya ironi itu diubah menjadi keadilan. Rakyat Rokan
Hulu, dan daerah kaya SDA lainnya di Indonesia, layak mendapatkan lebih dari
sekadar kubangan kemiskinan dan jalan berlubang. Mereka layak menikmati
kesejahteraan yang dihasilkan oleh kekayaan tanah mereka sendiri.
Penulis: Zulham Putra Fama Al fatihi