Setiap musim hujan datang, genangan air kembali menjadi langganan di jalan daerah perkebunan PT Asam Jawa, terutama di kawasan yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Simpang Kanan. Sebagai warga yang tinggal tak jauh dari lokasi itu, saya menyaksikan sendiri bagaimana air bah tak lagi mampu mengalir dengan lancar seperti dulu. Genangan ini bukan karena curah hujan yang terlalu ekstrem, melainkan karena hilangnya parit-parit yang dulu menjadi saluran air utama.
Alih-alih menjadi jalur drainase, parit-parit itu kini berubah menjadi hamparan pohon sawit. Perubahan ini bukan hanya mengganggu estetika alam, tapi berdampak langsung terhadap fungsi ekologis wilayah tersebut. Setiap tahun, jalan tergenang, aktivitas warga lumpuh, bahkan anak-anak kesulitan pergi ke sekolah saat musim hujan.
Fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi di daerah kami. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit telah menjadi penyumbang utama bencana ekologis di provinsi ini. Deforestasi masif dan penghilangan saluran air alami membuat Riau semakin rentan terhadap banjir dan kekeringan musiman. Menurut laporan Mongabay Indonesia (2021), Riau merupakan provinsi dengan laju kehilangan hutan tertinggi kedua di Indonesia setelah Kalimantan Tengah.
Pemerintah Provinsi Riau sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2018 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak perusahaan besar yang leluasa membuka lahan tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
Pengalaman kami di Simpang Kanan seharusnya menjadi peringatan bahwa pembangunan yang mengabaikan prinsip keberlanjutan akan membawa dampak jangka panjang. Parit yang dulunya sederhana dan mungkin dianggap sepele, ternyata memiliki peran penting sebagai sistem drainase alami. Ketika diganti dengan tanaman sawit, tanah menjadi kedap air, dan limpahan hujan tak tahu harus ke mana.
Saya percaya, solusi dari masalah ini bukan semata-mata menuntut perusahaan, tapi juga mendorong pemerintah untuk bertindak lebih tegas. Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap izin pembukaan lahan sawit dan pemulihan jalur air yang hilang. Warga sekitar pun perlu dilibatkan dalam proses pemetaan dan perlindungan wilayah rawan banjir. Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan cuaca. Alam hanya bereaksi atas perlakuan manusia. Dan saat parit-parit sudah tak lagi bisa menampung keluhan air, maka suara kami warga adalah parit terakhir yang harus didengar.
Penulis: Triya Anggraini