Indonesia
dikenal sebagai negeri yang kaya akan keragaman budaya. Dari Sabang sampai
Merauke, masing-masing wilayah memiliki warisan tradisi dan adat istiadat yang
tumbuh serta berkembang bersama kehidupan masyarakatnya. Keanekaragaman ini tak
hanya mencerminkan perbedaan suku, agama, maupun bahasa, tetapi juga
memperlihatkan betapa kuatnya akar budaya yang tertanam dalam kehidupan sosial
dan spiritual rakyat Indonesia. Setiap tradisi yang diwariskan dari generasi ke
generasi umumnya mengandung nilai-nilai luhur, baik dalam hal religi,
penghormatan kepada leluhur, hingga penghargaan terhadap alam semesta dan
kekuatan-kekuatan yang tak terlihat.
Salah
satu provinsi yang sarat dengan nilai budaya lokal adalah Riau. Khususnya di
Kabupaten Rokan Hilir, masyarakatnya memelihara berbagai warisan budaya yang
terbentuk dari hasil perpaduan antara ajaran Islam dan kepercayaan asli
masyarakat Melayu. Dari beragam budaya yang tumbuh di sana, terdapat sebuah
tradisi spiritual yang sangat sakral dan masih dilestarikan hingga saat ini,
yaitu Ratib Kerambai. Tradisi ini merupakan ritual tolak bala yang diyakini
mampu menangkal malapetaka dan bencana, serta memperkuat nilai kebersamaan di
antara masyarakat Kenegerian Kubu.
Sejarah
Ratib Kerambai
Tradisi
Ratib Kerambai sudah dikenal sejak tahun 1940-an, yaitu masa ketika Kenegerian
Kubu mengalami berbagai musibah dan bencana. Salah satu kejadian paling
mencolok pada masa itu adalah wabah kolera yang mengakibatkan banyak korban
jiwa setiap harinya. Dalam kondisi krisis tersebut, seorang ulama besar bernama
Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan memberikan petunjuk kepada masyarakat untuk
melakukan ritual tolak bala, yang kelak dikenal dengan nama Ratib Kerambai.
Ritual ini menjadi bagian penting dari usaha masyarakat untuk memohon
keselamatan dan perlindungan dari musibah yang terus mengintai.
Asal-usul
tradisi ini juga berkaitan erat dengan kehadiran Syekh Abdul Wahab Rokan dan
saudaranya, Datuk Jenggot, yang datang dari wilayah Pasai untuk berdakwah dan
menyebarkan ajaran Islam di wilayah Kubu pada akhir abad ke-19. Dalam proses
penyebaran agama, Syekh Abdul Wahab dikenal sebagai tokoh yang gemar
bermeditasi dan bertafakur di bawah sebuah pohon rambai. Lokasi tersebut kini
dikenal sebagai kawasan Rambai, yang kelak menjadi tempat awal dilaksanakannya
ritual Ratib Kerambai.
Tempat
ini menjadi sangat sakral karena dipercaya sebagai lokasi di mana Syekh Abdul
Wahab melakukan pendekatan spiritual untuk menyadarkan masyarakat yang saat itu
masih banyak terlibat dalam perilaku yang dianggap menyimpang dari ajaran
agama. Ketika wabah mulai merebak pada 1940-an, para murid dari Syekh Abdul
Wahab mulai mengadakan ritual tolak bala yang dimulai dari kawasan makam
tersebut. Mereka menyusuri sungai menggunakan sampan sambil melantunkan
doa-doa, dzikir, serta ayat-ayat suci Al-Qur'an hingga mencapai Tanjung Pulau
yang berada di dekat laut. Ritual ini dipimpin oleh para mursyid yang menguasai
tata cara dan esensi dari pelaksanaan tolak bala tersebut.
Proses
Pelaksanaan Ritual Ratib Kerambai
Ritual
Ratib Kerambai biasanya dilakukan pada hari ketiga setelah perayaan Idul Fitri
atau bertepatan dengan tanggal 3 Syawal. Pelaksanaannya dimulai dari makam
keramat Syekh Haji Abdullah Pasai, yang juga diyakini sebagai tokoh penyebar
Islam dan keturunan Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini dilakukan secara kolektif
oleh ratusan pria dari masyarakat Kubu yang telah dipilih secara khusus untuk
mengikuti prosesi ritual. Dalam pelaksanaannya, mereka menggunakan perahu kecil
atau sampan boat untuk menyusuri sungai dan bergerak menuju laut.
Prosesi
diawali dengan persiapan di sekitar makam, di mana dilakukan sambutan dari para
tokoh adat dan pimpinan ratib, atau yang disebut sebagai Syekh Ratib. Setelah
itu, acara dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an, sejarah singkat
tentang asal mula Ratib Kerambai, tahlil, doa, serta adzan yang dikumandangkan
oleh dua orang. Selanjutnya, para pria memasuki perahu dan memulai pelayaran
menyusuri sungai sambil terus melantunkan dzikir dan kalimat tauhid. Setibanya
di Tanjung Pulau, ritual dilanjutkan kembali dengan pembacaan ayat-ayat pendek,
doa, dan ditutup dengan adzan kedua sebagai tanda selesainya prosesi.
Pada
tahun 2022, misalnya, tradisi ini diikuti oleh sekitar 380 pria yang menaiki 70
sampan boat. Mereka berangkat dari hulu sungai dan menyusuri aliran air hingga
mencapai Tanjung Pulau, yang merupakan titik terakhir dari pelaksanaan ritual.
Sepanjang perjalanan, suasana dipenuhi dengan lantunan dzikir dan ayat-ayat
suci yang menggema di atas permukaan sungai, menciptakan atmosfer spiritual
yang mendalam.
Aturan
dan Pantangan dalam Pelaksanaan Ritual
Sebagai
tradisi yang bersifat sakral, Ratib Kerambai memiliki sejumlah pantangan yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat. Salah satu aturan utama adalah larangan bagi
perempuan untuk ikut serta dalam ritual ini. Bahkan anak perempuan kecil pun
tidak diperkenankan hadir di lokasi pelaksanaan. Larangan ini telah menjadi
bagian dari adat yang diwariskan secara turun-temurun, dan dipandang sebagai
bentuk penghormatan terhadap kesucian prosesi ritual.
Selain
itu, ritual Ratib Kerambai bukanlah acara yang bersifat publik atau tontonan
umum. Prosesinya harus dijalankan dengan penuh kekhusyukan dan ketulusan.
Setiap peserta memiliki tanggung jawab untuk menjaga ketertiban serta mengikuti
seluruh tahapan dengan niat yang tulus. Hal ini menegaskan bahwa Ratib Kerambai
bukan sekadar upacara tradisional biasa, melainkan bentuk ibadah yang
membutuhkan kesiapan spiritual dan kedisiplinan yang tinggi.
Upaya
Pelestarian dan Pengakuan sebagai Warisan Budaya
Dengan
semakin berkembangnya zaman dan pesatnya arus modernisasi, banyak tradisi lokal
yang mulai tergeser dan terancam punah. Namun, Ratib Kerambai berhasil bertahan
karena adanya kesadaran kolektif masyarakat Kubu untuk melestarikan warisan
leluhur ini. Salah satu tokoh penting dalam pelestarian tradisi ini adalah
Zuhaifi, yang menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pengurus Harian Majelis Tinggi
Kerapatan Empat Suku Melayu Kenegerian Kubu.
Zuhaifi
bersama timnya berkomitmen untuk menjaga keberlanjutan Ratib Kerambai. Mereka
bahkan telah mendaftarkan tradisi ini ke Dinas Kebudayaan Provinsi Riau dan
kemudian diteruskan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. Upaya ini membuahkan hasil, karena Ratib Kerambai resmi diakui
sebagai warisan budaya tak benda. Pengakuan ini menjadi tonggak penting dalam
memperkuat eksistensi tradisi tersebut dan memberikan perlindungan hukum atas
kelestariannya.
Tidak
hanya itu, melalui kegiatan pelestarian ini, masyarakat juga diajak untuk terus
menghargai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap elemen ritual. Ratib
Kerambai menjadi sarana pendidikan budaya bagi generasi muda, sekaligus
pengingat akan pentingnya menjaga keharmonisan hidup antara manusia, alam, dan
Tuhan.
Penutup
Ratib
Kerambai bukan sekadar tradisi keagamaan atau ritual adat. Ia adalah simbol
dari keteguhan masyarakat dalam menjaga warisan leluhur serta bentuk perwujudan
dari spiritualitas dan kebersamaan. Tradisi ini menjadi pengikat sosial yang
mempererat hubungan antarwarga, serta menjadi sarana untuk memohon keselamatan
dari ancaman bencana.
Dalam
menghadapi zaman yang terus berubah, pelestarian Ratib Kerambai menjadi bukti
bahwa nilai-nilai tradisional masih relevan dan penting dalam kehidupan
masyarakat modern. Dengan terus diwariskan dan dijaga, Ratib Kerambai akan
tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Rokan
Hilir, khususnya di Kenegerian Kubu. Melalui usaha bersama antara tokoh adat,
masyarakat, dan pemerintah, tradisi ini akan terus hidup dan menginspirasi
generasi yang akan datang.